Transparency International Indonesia (TII)
meluncurkan Corruption Perseption Index (CIP) atau indeks persepsi korupsi pada
2016. Indeks ini memetakan risiko
korupsi di tiap negara. Skor CPI Indonesia pada 2016 yakni 37 dari rentang
O-100. Pada 2015, skor CPI Indonesia ada di angka 36. Sementara skor 2014, 34.
Skor tersebut didapat dari persepsi
masyarakat terhadap risiko korupsi di Indonesia. Semakin tinggi skor semakin
rendah tingkat risiko korupsinya.
Semakin menurunnya tingkat korupsi di Indonesia, tidak lantas
membuat kita puas diri. Tetapi merupakan awal dari menciptakan negara dari korupsi.
Oleh karena itu, tindakan ini harus melibatkan semua elemen dalam mewujudkan
negara bebas korupsi. Salah satu yang terpenting adalah kerja Badan Pengawasan
Keuangan (BPK) dalam memantau setiap alur keuangan yang beredar.
Kehadiran BPK di negeri ini untuk pengawasan dan transparansi dalam keuangan
agar sesuai dengan tujuan. Tujuan mulia lahirnya BPK dengan visi, menjadi
pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui
pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat.
Apa yang dilakukan BPK selama ini telah banyak dirasakan secara luas
oleh masyarakat Indonesia. Dalam kinerja BPK selama Kerugian Negara (PKN)
sebanyak 323 kasus dari Kepolisian RI, KPK, dan Kejaksaan RI. Dari jumlah
tersebut, sebanyak 120 kasus telah diterbitkan LHP PKN sebesar Rp10,37 triliun
dan US$2,71 miliar atau seluruhnya ekuivalen Rp46,56 triliun.
Tatkala uang tersebut tidak diawasi dengan baik dan independen, maka
keuangan negara akan dinikmati beberapa orang semata. Bahkan kita bisa melihat
secara langsung beberapa kasus korupsi terungkap berawal dari pemeriksaan BPK. Yang
sangat ketara pemeriksaan soal Pelindo II.
Dalam pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan adanya berbagai
penyimpangan identik terkait dengan proses perpanjangan perjanjian kerja sama
yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara karena kedua proses
perpanjangan tersebut dilakukan secara bersamaan, baik inisiasi, evaluasi,
maupun keputusannya.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut patut diduga sebagai rangkaian
proses yang saling berkaitan untuk mendukung tercapainya perjanjian kerja sama
dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
mengakibatkan indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II minimal
sebesar USD139,06 juta ekuivalen Rp1,86 triliun yang terdiri dari
kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II
dari perpanjangan perjanjian kerja sama sebesar USD137,47 juta ekuivalen Rp1,84
triliun. Selain itu pembayaran biaya konsultan keuangan kepada Deutsche Bank
Hongkong Branch yang tidak sesuai ketentuan kontrak sebesar USD 1,59 juta
ekuivalen Rp 21,21 miliar.
Tidak hanya kasus Pelindo II, tetapi masih banyak kasus lainnya mega
proyek korupsi yang bisa diungkap dari hasil penyelidikan BPK. Tindakan BPK secara
tidak langsung telah peran aktif dalam menyelamatkan keuangan negara. Uang yang
telah diselamatkan dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat; baik pembenahan
infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan sebagainya demi kesejahteraan masyarakat.
Seperti yang dikatakan Ketua BPK, Harry Azhar Azis, bahwa BPK dalam
beberapa tahun terakhir memprioritaskan pemeriksaan keuangan karena
bersifat mandatory atau harus dilakukan sebagai perintah
Undang-Undang. BPK juga memprioritaskan pemeriksaannya pada bidang-bidang
kegiatan yang rawan terjadi korupsi dan menjadi proiritas pembangunan seperti
bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lingkungan hidup, ketahanan
pangan, dan penaggulangan kemiskinan.
Sepak terjang yang dilakukan BPK, maka bisa dikatakan, bahwa "BPK
Kawal Harta Negara" benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan awal
didirikan. Tanpa kehadiran BPK maka banyak keuangan negara yang terkuras oleh
koruptor. Di sisi lain, penanganan korupsi tidak bisa dilimpahkan begitu saja
kepada BPK. Melainkan diperlukan peran aktif masyarakat dan semua elemen demi
mewujudkan negara bebas korupsi dan kesejahteraan masyarakat terjamin.
0 comments:
Post a Comment