Saturday, February 10, 2018

Dari BPK untuk Kesejahteraan Masyarakat

Transparency International Indonesia (TII) meluncurkan Corruption Perseption Index (CIP) atau indeks persepsi korupsi pada 2016. Indeks ini memetakan risiko korupsi di tiap negara. Skor CPI Indonesia pada 2016 yakni 37 dari rentang O-100. Pada 2015, skor CPI Indonesia ada di angka 36. Sementara skor 2014, 34. Skor tersebut didapat dari persepsi masyarakat terhadap risiko korupsi di Indonesia. Semakin tinggi skor semakin rendah tingkat risiko korupsinya.
Semakin menurunnya tingkat korupsi di Indonesia, tidak lantas membuat kita puas diri. Tetapi merupakan awal dari menciptakan negara dari korupsi. Oleh karena itu, tindakan ini harus melibatkan semua elemen dalam mewujudkan negara bebas korupsi. Salah satu yang terpenting adalah kerja Badan Pengawasan Keuangan (BPK) dalam memantau setiap alur keuangan yang beredar.


Kehadiran BPK di negeri ini untuk  pengawasan dan transparansi dalam keuangan agar sesuai dengan tujuan. Tujuan mulia lahirnya BPK dengan visi, menjadi pendorong pengelolaan keuangan negara untuk mencapai tujuan negara melalui pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat.
Apa yang dilakukan BPK selama ini telah banyak dirasakan secara luas oleh masyarakat Indonesia. Dalam kinerja BPK selama Kerugian Negara (PKN) sebanyak 323 kasus dari Kepolisian RI, KPK, dan Kejaksaan RI. Dari jumlah tersebut, sebanyak 120 kasus telah diterbitkan LHP PKN sebesar Rp10,37 triliun dan US$2,71 miliar atau seluruhnya ekuivalen Rp46,56 triliun.
Tatkala uang tersebut tidak diawasi dengan baik dan independen, maka keuangan negara akan dinikmati beberapa orang semata. Bahkan kita bisa melihat secara langsung beberapa kasus korupsi terungkap berawal dari pemeriksaan BPK. Yang sangat ketara pemeriksaan soal Pelindo II.
Dalam pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan adanya berbagai penyimpangan identik terkait dengan proses perpanjangan perjanjian kerja sama yang mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara karena kedua proses perpanjangan tersebut dilakukan secara bersamaan, baik inisiasi, evaluasi, maupun keputusannya. 
Penyimpangan-penyimpangan tersebut patut diduga sebagai rangkaian proses yang saling berkaitan untuk mendukung tercapainya perjanjian kerja sama dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan indikasi kerugian keuangan negara pada PT Pelindo II minimal sebesar USD139,06 juta ekuivalen Rp1,86 triliun yang terdiri dari kekurangan upfront fee yang seharusnya diterima PT Pelindo II dari perpanjangan perjanjian kerja sama sebesar USD137,47 juta ekuivalen Rp1,84 triliun. Selain itu pembayaran biaya konsultan keuangan kepada Deutsche Bank Hongkong Branch yang tidak sesuai ketentuan kontrak sebesar USD 1,59 juta ekuivalen Rp 21,21 miliar.
Tidak hanya kasus Pelindo II, tetapi masih banyak kasus lainnya mega proyek korupsi yang bisa diungkap dari hasil penyelidikan BPK. Tindakan BPK secara tidak langsung telah peran aktif dalam menyelamatkan keuangan negara. Uang yang telah diselamatkan dapat digunakan untuk kesejahteraan masyarakat; baik pembenahan infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan sebagainya demi kesejahteraan masyarakat.
Seperti yang dikatakan Ketua BPK, Harry Azhar Azis, bahwa BPK dalam beberapa tahun terakhir memprioritaskan pemeriksaan keuangan karena bersifat mandatory atau harus dilakukan sebagai perintah Undang-Undang. BPK juga memprioritaskan pemeriksaannya pada bidang-bidang kegiatan yang rawan terjadi korupsi dan menjadi proiritas pembangunan seperti bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, lingkungan hidup, ketahanan pangan, dan penaggulangan kemiskinan.
Sepak terjang yang dilakukan BPK, maka bisa dikatakan, bahwa "BPK Kawal Harta Negara" benar-benar berjalan sesuai dengan tujuan awal didirikan. Tanpa kehadiran BPK maka banyak keuangan negara yang terkuras oleh koruptor. Di sisi lain, penanganan korupsi tidak bisa dilimpahkan begitu saja kepada BPK. Melainkan diperlukan peran aktif masyarakat dan semua elemen demi mewujudkan negara bebas korupsi dan kesejahteraan masyarakat terjamin. 

0 comments:

Post a Comment