Pada
tugas filsafat kali ini, saya berkesempatan untuk menelisik tentang kebudayan
jawa yaitu wayang. Pertunjukan wayang menyimpan banyak nilai. Pada tugas kali
ini akan dibahas tentang bagaimana nilai etik dan nilai estetik dalam
pertunjukan wayang. Sebelum saya ceritakan pertunjukan wayang yang saya lihat,
akan dibahas terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan nilai etik dan nilai
estetik.
1. Nilai
etik dan estetik
Nilai adalah perasaan tentang apa yang baik atau apa
yang buruk, apa yang diinginkan atau apa yang tidak diinginkan, apa yang harus
atau apa yang tidak boleh ada (Bertrabd 1967 dalam Seni wayang 2014). Etika
secara terminology merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku
atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Etika ini memiliki
berbagai macam fungsi, yaitu a) pengembangan, yaitu meningkatkan perilaku
manusia dari yang buruk menjadi baik, baik menjadi lebih baik hingga mendekati
sempurna; b) penyaluran, yaitu membantu manusia unutk menyalurkan potensi yang
dimilikinya untuk masyarakat dan sekitarnya, c) perbaikan, yaitu memperbaiki
manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam dirinya; d)
pencegahan, yaitu mencegah manusia dari hal yang dapat merusak; e) pembersih,
yaitu membersihkan diri dari penyakit hati; f) penyaring, yaitu menyaring
budaya yang tidak sesuai dengan budi pekerti (Ratnaningsih, 2013).
Estetik adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art)
dan keindahan (beauty). Estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana bisa
terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Beberapa tokoh estetika
antara lain adalah Aristoteles dan Immnauel Kant. Kant menytakan bahwa terdapat
dua jenis keindahan, yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. Keindahan
natural adalah keindahan alam, yang indah dalam diri sendiri, sementara
keindahan dependen merupakan keindahan objek ciptaan manusia. (Ratnaningsih,
2013)
2. Pertunjukan
wayang episode “Tambak Rama”
Wayang
mengacu pada boneka, kisah dan onrag yang menari. Pertunjukan wayang dapat
disebut sebagi teater total, dimana didalamnya terkandung sejumlah jenis seni
yang diramu menjadi satu kesatuan yaitu seni draman, musik, rupa, gerak, dan
sastra (Darmoko, 2014). Pertunjukan wayang yang akan saya tuliskan ini
merupakan pertunjukan yang dilakukan setiap malam di Museum Sanabudaya pada
tanggal 9 Desember 2017. Setiap malam, pendopo Museum Sanabudaya ini melakukan
pertunjukan wayang, puppet shadow play,
wayang kulit performance. Cerita wayang
yang diangkat tiap malam dibagi ke dalam beberapa episode. Adapun episode
tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Pada
kesempatan ini, saya memperoleh episode Rama’s
Dam, “Tambak Rama”. Awal mula cerita adalah ketika Rama sedih mengingat
istrinya, Shinta, yang sangat dicintainya dibawa oleh Rahwana ke negeri
Alengka. Rindunya yang tak terbendung menderu deru seperti samudra yang
membentang dihadapannya, memisahkan negeri alengka dan Pancawati. Prabu Sugriwa, Lesmana, Anoman, Anila, Anggada, dan
seluruh pasukan kera yang ada pun tak mampu berbuat banyak untuk membuat Sri
Rama tersenyum.
Anoman, sebagai senopati perang, ingin rasanya beraksi dan
membawa Rama menyebrangi samudra. Namun Anoman sadar bahwa tidak semudah itu
melintasi samudra tersebut. Terdapat banyak ribuan pasukan raksasa air Alengka
yang nggegirisi, mengerikan. Alam ternyata berkehendak lain, ditengah
keputusasaan Rama, muncullah Hyang Baruna dewanya para ikan dan hewan laut.
Baruna paham masalah apa yang dihadapi Rama. Baruna memberanikan diri
mengingatkan Rama Wijaya supaya tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Karena
sebagi pemimpin, keraguan dan keputusasaan adalah jurang kematian yang
siap merenggut nyawa rakyat yang dipimpinnya. Rama sadar bahwa kesedihan akn
menghancurkan rakyatnya juga, maka Rama kembali bangkit. Dengan bantuan Baruna
dan pasukan kera, Rama Wijaya melakukan sebuah proyek yaitu dengan membuat
bendungan (jawa = tambak) untuk
membendung lautan sebagai jembatan yang menghubungkan Pancawati dengan Alengka.
Sementara itu, di Alengka, Rahwana telah mendengar proyek
Rama Wijaya untuk membangun bendungan tersebut. Prabu Dasamuka merasa cemas dengan rencana tersebut. Maka
dari itu Prabu Dasamuka memerintahkan Detya Kala Yuyu Rumpung untuk membawa
seluruh pasukan raksasa kepiting yang ada di Samodera Hindia, untuk
menghancurkan jembatan buatan pasukan wanara Pancawati.
Yuyu Rumpung merupakan raksasa berkepala kepiting (jawa =yuyu). Ia adalah salah satu punggawa kerajaan Alengka yang oleh Prabu Dasamuka ditempatkan di dalam samodra.
Yuyu Rumpung merupakan raksasa berkepala kepiting (jawa =yuyu). Ia adalah salah satu punggawa kerajaan Alengka yang oleh Prabu Dasamuka ditempatkan di dalam samodra.
Sementara itu di Pancawati, Prabu Rama berembug dengan
Narpati Sugriwa, Laksmana, Anoman, Anggada, Anila dan para punggawa yang lain
untuk merencanakan pembuatan tanggul di Samudera Hindia, dari Pancawati
sampai tanah Alengka, dengan membawa pasukan Pancawati sebanyak-banyaknya.
Akhirnya mereka mulai membendung samudera Hindia. Para pasukan kera Pancawati bahu-membahu membuat bendungan dengan batu dan batang pohon dari hutan di sekitar Pancawati. Namun belum sampai ke Alengka tanggul itu selalu jebol dan hancur. Pasukan Prabu Rama menjadi putus asa. Belum tahu langkah apa yang harus dilakukan,
Akhirnya mereka mulai membendung samudera Hindia. Para pasukan kera Pancawati bahu-membahu membuat bendungan dengan batu dan batang pohon dari hutan di sekitar Pancawati. Namun belum sampai ke Alengka tanggul itu selalu jebol dan hancur. Pasukan Prabu Rama menjadi putus asa. Belum tahu langkah apa yang harus dilakukan,
Tidak lama kemudian Prabu Rama kedatangan tamu dari Alengka,
yaitu Wibisana. Prabu Rama merasa senang dengan kehadiran Wibisaba, yang mau
bergabung dengan Prabu Rama.
Sebagai tanda baktinya kepada Prabu Rama, Wibisana membantu pembuatan jembatan dari Pantai Pancawati sampai ke negeri Alengka. Dalam waktu sekejab Wibisana menciptakan jembatan yang kokoh dan kuat. Anoman kemudian mencoba jembatan yang baru diciptakan Wibisana.
Sebagai tanda baktinya kepada Prabu Rama, Wibisana membantu pembuatan jembatan dari Pantai Pancawati sampai ke negeri Alengka. Dalam waktu sekejab Wibisana menciptakan jembatan yang kokoh dan kuat. Anoman kemudian mencoba jembatan yang baru diciptakan Wibisana.
Belum beberapa lama jembatan itu dicoba oleh Anoman, jembatan
itu ambrol dan hancur. Jembatan ciptaan Wibisana menjadi runtuh. Disaat
seperti ini Wibisana bagai teruji kesetiaannya pada Prabu Rama. Beberapa tokoh
senapati meminta agar Wibisana diusir saja dari Pancawati, karena bisa saja
niat Wibisana mau menghancurkan Pancawati dari dalam. Namun Prabu Rama percaya
pada Wibisana, karena Wibisaba pasti mengetahui seluk beluk pertahanan Alengkadiraja.
Persoalan selalu runtuhnya bendungan tersebut oleh Prabu Rama
diserahkan pada Wibisana. Menurut perkiraan Wibisana,
keruntuhan-keruntuhan yang terjadi pada jembatan tersebut, akibat ulah pasukan
Prabu Dasamuka. Wibisana meminta Prabu Rama untuk mengerahkan seluruh kera kera
Yuyu Kingkin, yang berada di hutan Pancawati, ke Jembatan Situbanda yang
telah dibuat Perajurit Pancawati. Kapi Yuyu Kingkin siap akan
mengerahkan ribuan kera yuyu kingkin di hutan Pancawati mengusir pengganggu
dari Alengka.
Pasukan Pancawati pun bertindak. Kapi Yuyu Kingkin beserta
pasukan dan Kapi Sarpacitra menyelam ke dasar lautan. Benar saja sesuai
perkiraan Wibisana, tambak yang dibangun ternyata dirusak oleh pasukan Alengka
yang dipimpin Kala Yuyu Rumpung. Pasukan Kapi Yuyu Kingkin berhasil mengalahkan
bala Alengka, Pasukan Yuyu Rumpung sebagian tewas dan yang masih hidup
menyelamatkan diri.
Sementara itu sang komandan, Kapi Yuyu Kingkin dan Kapi
Sarpacitra berhadapan dengan Kala Yuyu Rumpung. Karena kuwalahan menghadapi
Kala Yuyu Rumpung di dalam air, Kapa Sarpacitra melilit tubuh Yuyu Rumpung
dengan ekornya yang panjang dan dibawa ke daratan. Kapi Yuyu Kingkin pun ikut
kembali ke daratan. Pertempuran pun kembali berlanjut. Ternyata di darat Yuyu
Rumpung tak sehebat jika bertarung di dalam air dan akhirnya tewas di tangan
Kapi Yuyu Kingkin.
Sesudah itu tidak ada lagi gangguan dari pasukan Alengka,
Pasukan Pancawati dan Wibisana, melanjutkan pembuatan jembatan Situbanda,
dengan bahu membahu dalam membuat jembatan ke Alengka, maka jadilah tanggul itu
dan akhirnya pasukan kera yang jumlahnya ribuan itu bisa diberangkatkan
ke Alengka Diraja. Mereka termasuk para kera ciptaan Dewa, seperti Cucak Rawun,
Endrajanu, Bakliwinata, Baliwisata, Indrajanu, serta lainnya berbaris rapi,
bagaikan tentara yang perkasa, siap ke medan laga, menjemput maut, demi membela
kebenaran. Jembatan ini dikenal dengan Jembatan Situbondo. Dan konon jembatan
yang menghubungkan India dengan Srilangka, masih ada, yang menyerupai pulau
pulau kecil di ujung Srilangka. Dibawah ini merupakan jembatan yang dijuluki
sebagai “Rama Bridge” sepanjang 18 mil (30 KM) yang menghubungkan Manand Island
(Srilangka) dengan Pamban Island (India).(Heri, 2012).
3. Nilai Etik dan estetik dalam pertunjukan wayang episode “Tambak Rama”
a. Nilai etik dalam pertunjukan wayang episode “Tambak Rama”
Wayang merupakan gambaran keidupan manusia konkret dengan
segala sifat karakter unik yang ada pada aneka ragam manusia. Kehalusan batin
yang terwujud dalam perilaku bijaksana ataupun perilaku angkara murka dari
kecantikan batin dapat terungkap dan tercermin dalam tokoh pewayangan. Dalam
pertunjukan wayang penonton dapat mengenal nilai etik mengeani apa yang baik
dan apa yang buruk. Tindakan dari masing-masing tokoh wayang sering dipakai
orang jawa untuk memahami makna kehidupan ataupun berbagai realitas konkret
(Kushendrawati, 2016). Etika ini memiliki berbagai macam fungsi, yaitu a)
pengembangan, yaitu meningkatkan perilaku manusia dari yang buruk menjadi baik,
baik menjadi lebih baik hingga mendekati sempurna; b) penyaluran, yaitu
membantu manusia unutk menyalurkan potensi yang dimilikinya untuk masyarakat
dan sekitarnya, c) perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan,
kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam dirinya; d) pencegahan, yaitu mencegah
manusia dari hal yang dapat merusak; e) pembersih, yaitu membersihkan diri dari
penyakit hati; f) penyaring, yaitu menyaring budaya yang tidak sesuai dengan
budi pekerti (Ratnaningsih, 2013).
Pertunjukan wayang “Tambak Rama” ini menurut saya sebagai
penonton memiliki nilai etik yang beragam. Dimulai ketika lakon wayang dimulai
dari Rama yang merasa sedih tak berkesudahan atas diculiknya Sinta. Namun
kemudian Rama sadar bahwa dia raja tidak boleh terlalu lama bersedih karena
keraguan dan keputusasaan akan menular kepada rakyatnya. Hal ini menunjukkan
nilai etik yang berfungsi sebagai perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari
kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam dirinya.
Terdapat juka lakon Dasamuka yang cemas setelah mendegar
berita akan dibuat bendungan tersebut. Kemudian diutuslah pasukan raksasa
kepiting untuk mengagalkan recana Rama. Namun pada akhirnya pasukan raksasa
kepiting tersebut kalah, ada yang mati dan ada yang melarikan diri. Hal ini
menjukkan bahwa ketika seseorang tersebut mendukung kepada hal yang tidak baik,
maka akan dikalahkan dengan hal yang baik. Kebaikan menang setelah hal tersebut
diperjuangan hingga titik darah penghabisan.
Pada lakon Rama juga diceritakan bahwa Sri Rama masih tetap
percaya kepada Widisaba walaupun beberapa tokoh senopatinya meminta agar
Wibisana diusir dari Pancawati karena gagal dalam membangun bendungan yang
pertama dan dianggap sebagai mata-mata yang ingin menghancurkan Pancawati dari
dalam. Dari hal tersebut terdapat nilai etik bahwa, ketika seorang pemimpin
dihadapkan kepada suatu masalah, pemimpin tersebut harus mampu melihat secara
menyeluruh. Tidak gegabah mengambil keputusan walaupun ada beberapa saran dari
orang terdekatnya.
b. Nilai estetik dalam pertunjukan wayang episode “Tambak Rama”
Teori estetika berpandangan bahwa
setiap karya seni memiliki struktur yan secara umum dapat diterima secara
ekuivalen, yakni struktur hamoni dan struktur ritme. Struktur harmoni dalam
suatu karya seni memberikan tekanan dan mengelompokkan unsur-unsur bahasa estetik,
sehingga karya tersebut unik. Struktur ritme karya senimenetukan unsut yang
diarahkan pada suatu gerak, yang menjadikan wujud terasa hidup.gerakan ni dapat
juga berupa ketidakgerakan, yaitu seperti hentakan dengan tempo yang tepat
dalam dunia teater, music, puisi maupun tari (Darmoko, 2014).
Setiap pertunjukan wayang yang digerakkan tersebut
sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang mencakup berapa lebar dan
panjang layar, jangkauan dan jarak antara gunungan sebagai pembatas simpingan kanan dan kiri, serta jarak
antara blencong (lampu) dengan layar.
Dimensi waktu mengacu pada gending-gending yang disajikan yang turut serta
dalam membangun gerakan. Gending tersebut disajikan dalam tempo dan irama
tertenu, sesuai dengan kebutuhan gerakan wayang. Gending dalam pertunjukan
wayang ini bersifat melayani gerakan atau adegan apa yang sedang dilakukan oleh
seorang tokoh. Gending ini memegang peranan penting dalam pertunjukan, yaitu
sebagai pembentuk, pencipta, dan pembawa suasana seperti percintaan, kesedihan,
kemarahan, semangat, ketakutan, kemuakan, keheranan, dan ketenangan batin tokoh
yang sedang dibawakan (Darmoko, 2014).
Berikut gambar nilai esteik dalam pertunjukan
wayang.
Dalam
gambar diatas telihat 3 gunungan. Gunungan kanan dan kiri tersebut merupakan
dimensi ruang yang mencakup panjang dan lebar layar yang digunakan dalam
pertunjukan wayang. Gunungan ditengah digunakan dalang untuk menunjukkan
pembuka dan penutup babak pertunjukan. Pada saat pertunjukan belum dimulai,
maka gunungan diletakkan ditengah tengah layar. Hal ini menandakan bahwa lakon
wayang belum dimulai. Kemudian setelah dimainkan, gunungan dicabut, dan
dijajarkan di sebelah kanan. ketika akan berganti tahapan cerita, maka gunungan
akan ditancapkan ditengah-tengah condong ke kiri.
Dari gambar diatas, terlihat dalang
telah memulai lakon awalnya dengan memunculkan tokoh Rama dan para rekannya.
Terlihat didalam gamabr terdapat nilai estetikanya yaitu terdapat sekelompok
karawitan yang akan mengiringi gending untuk pertunjukan. Kelompok karawitan terdiri dari pengrawit,
pesinden, dan penggerong. Pengrawit bertugas memainkan instrument
gamelan. Pesinden bertugas menyajikan vokal perempuan dalam
alunan gendhing ataupun tembang, dan penggerong bertugas menyajikan vocal laki-laki.
Kehadiran pengrawit, pesinden, dan penggerong
dalam pagelaran wayang adalah mendukung
menciptanya kualitas estetik. Hubungan sinergis antara
kelompok karawitan dengan dalang ditunjukkan pada makna sasmita gending. Dalang
melontarkan sasmita gending yang diterjemahkan kelompok
karawitan dalam vokal gending tertentu untuk mendukung pertunjukan wayang
(Ratnaningsih, 2013).
4. Reference
Heri. 2012. Ramayan :
Rama Tambak. http://caritawayang.blogspot.co.id/2012/11/rama-tambak.html
Ratnaningsih, Arum.
2013. Etika dan Estetika dalam Wayang (Kisah Perang Bhatarayuda).
https://www.academia.edu/5473249/Etika_dan_Estetika_dalam_perang_Bhratayuda
Seni Wayang. 2014. Pemahaman Nilai
Filosofi, Etika dan Estetika dalam Wayang. http://seni-wayang.blogspot.co.id/2014/05/pemahaman-nilai-filosofi-etika-dan.html
Darmoko. 2004. Seni Gerak dalam
Pertunjukan Wayang Ditinjau Estetika. Makara, Sosial Humaniora, 8 (2), Hal 83 –
89. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=201757&val=1213&title=SENI%20GERAK%20DALAM%20PERTUNJUKAN%20WAYANG%20TINJAUAN%20ESTETIKA
Kushendrawati, Selu M. 2016. Wayang dan
Nilai-Nilai Etis : Sebuah Gamabran Sikap Hidup Orang Jawa. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiE2PDziJnYAhUGT48KHZniA8gQFghWMAU&url=http%3A%2F%2Fparadigma.ui.ac.id%2Findex.php%2Fparadigma%2Farticle%2Fdownload%2F21%2Fpdf&usg=AOvVaw3q2hnXXRiLVrpm78aoBV9Y
0 comments:
Post a Comment