Monday, January 1, 2018

Wayang : nilai etik dan estika suatu pertunjukan


Pada tugas filsafat kali ini, saya berkesempatan untuk menelisik tentang kebudayan jawa yaitu wayang. Pertunjukan wayang menyimpan banyak nilai. Pada tugas kali ini akan dibahas tentang bagaimana nilai etik dan nilai estetik dalam pertunjukan wayang. Sebelum saya ceritakan pertunjukan wayang yang saya lihat, akan dibahas terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan nilai etik dan nilai estetik.


1.      Nilai etik dan estetik
Nilai adalah perasaan tentang apa yang baik atau apa yang buruk, apa yang diinginkan atau apa yang tidak diinginkan, apa yang harus atau apa yang tidak boleh ada (Bertrabd 1967 dalam Seni wayang 2014). Etika secara terminology merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia dalam hubungannya dengan baik buruk. Etika ini memiliki berbagai macam fungsi, yaitu a) pengembangan, yaitu meningkatkan perilaku manusia dari yang buruk menjadi baik, baik menjadi lebih baik hingga mendekati sempurna; b) penyaluran, yaitu membantu manusia unutk menyalurkan potensi yang dimilikinya untuk masyarakat dan sekitarnya, c) perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam dirinya; d) pencegahan, yaitu mencegah manusia dari hal yang dapat merusak; e) pembersih, yaitu membersihkan diri dari penyakit hati; f) penyaring, yaitu menyaring budaya yang tidak sesuai dengan budi pekerti (Ratnaningsih, 2013).
Estetik adalah cabang filsafat yang mempersoalkan seni (art) dan keindahan (beauty). Estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Beberapa tokoh estetika antara lain adalah Aristoteles dan Immnauel Kant. Kant menytakan bahwa terdapat dua jenis keindahan, yaitu keindahan natural dan keindahan dependen. Keindahan natural adalah keindahan alam, yang indah dalam diri sendiri, sementara keindahan dependen merupakan keindahan objek ciptaan manusia. (Ratnaningsih, 2013)
2.      Pertunjukan wayang episode “Tambak Rama”
Wayang mengacu pada boneka, kisah dan onrag yang menari. Pertunjukan wayang dapat disebut sebagi teater total, dimana didalamnya terkandung sejumlah jenis seni yang diramu menjadi satu kesatuan yaitu seni draman, musik, rupa, gerak, dan sastra (Darmoko, 2014). Pertunjukan wayang yang akan saya tuliskan ini merupakan pertunjukan yang dilakukan setiap malam di Museum Sanabudaya pada tanggal 9 Desember 2017. Setiap malam, pendopo Museum Sanabudaya ini melakukan pertunjukan wayang, puppet shadow play, wayang kulit performance. Cerita wayang yang diangkat tiap malam dibagi ke dalam beberapa episode. Adapun episode tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.



Pada kesempatan ini, saya memperoleh episode Rama’s Dam, “Tambak Rama”. Awal mula cerita adalah ketika Rama sedih mengingat istrinya, Shinta, yang sangat dicintainya dibawa oleh Rahwana ke negeri Alengka. Rindunya yang tak terbendung menderu deru seperti samudra yang membentang dihadapannya, memisahkan negeri alengka dan Pancawati. Prabu Sugriwa, Lesmana, Anoman, Anila, Anggada, dan seluruh pasukan kera yang ada pun tak mampu berbuat banyak untuk membuat Sri Rama tersenyum.
Anoman, sebagai senopati perang, ingin rasanya beraksi dan membawa Rama menyebrangi samudra. Namun Anoman sadar bahwa tidak semudah itu melintasi samudra tersebut. Terdapat banyak ribuan pasukan raksasa air Alengka yang nggegirisi, mengerikan. Alam ternyata berkehendak lain, ditengah keputusasaan Rama, muncullah Hyang Baruna dewanya para ikan dan hewan laut. Baruna paham masalah apa yang dihadapi Rama. Baruna memberanikan diri mengingatkan Rama Wijaya supaya tidak terlalu larut dalam kesedihannya. Karena sebagi pemimpin, keraguan dan  keputusasaan adalah jurang kematian yang siap merenggut nyawa rakyat yang dipimpinnya. Rama sadar bahwa kesedihan akn menghancurkan rakyatnya juga, maka Rama kembali bangkit. Dengan bantuan Baruna dan pasukan kera, Rama Wijaya melakukan sebuah proyek yaitu dengan membuat bendungan (jawa = tambak) untuk membendung lautan sebagai jembatan yang menghubungkan Pancawati dengan Alengka.
Sementara itu, di Alengka, Rahwana telah mendengar proyek Rama Wijaya untuk membangun bendungan tersebut. Prabu Dasamuka  merasa cemas dengan rencana tersebut. Maka dari itu Prabu Dasamuka memerintahkan Detya Kala Yuyu Rumpung untuk membawa seluruh pasukan raksasa kepiting yang ada di Samodera Hindia, untuk menghancurkan jembatan buatan pasukan wanara Pancawati.
Yuyu Rumpung merupakan raksasa berkepala kepiting (jawa =yuyu). Ia adalah salah satu punggawa kerajaan Alengka yang oleh Prabu Dasamuka ditempatkan di dalam samodra.
Sementara itu di Pancawati, Prabu Rama berembug dengan Narpati Sugriwa, Laksmana, Anoman, Anggada, Anila dan para punggawa yang lain untuk merencanakan pembuatan tanggul di Samudera Hindia, dari Pancawati  sampai tanah Alengka, dengan membawa pasukan Pancawati sebanyak-banyaknya.
Akhirnya mereka mulai membendung samudera Hindia. Para pasukan kera Pancawati bahu-membahu membuat bendungan dengan batu dan batang pohon dari hutan di sekitar Pancawati. Namun belum sampai ke Alengka tanggul itu selalu jebol dan hancur. Pasukan Prabu Rama menjadi putus asa. Belum tahu langkah apa yang harus dilakukan,
Tidak lama kemudian Prabu Rama kedatangan tamu dari Alengka, yaitu Wibisana. Prabu Rama merasa senang dengan kehadiran Wibisaba, yang mau bergabung dengan Prabu Rama.
Sebagai tanda baktinya kepada Prabu Rama, Wibisana membantu pembuatan jembatan dari Pantai Pancawati sampai ke negeri Alengka. Dalam waktu sekejab Wibisana menciptakan jembatan yang kokoh dan kuat. Anoman kemudian mencoba jembatan yang baru diciptakan Wibisana.
Belum beberapa lama jembatan itu dicoba oleh Anoman, jembatan itu ambrol dan hancur. Jembatan ciptaan Wibisana menjadi runtuh.  Disaat seperti ini Wibisana bagai teruji kesetiaannya pada Prabu Rama. Beberapa tokoh senapati meminta agar Wibisana diusir saja dari Pancawati, karena bisa saja niat Wibisana mau menghancurkan Pancawati dari dalam. Namun Prabu Rama percaya pada Wibisana, karena Wibisaba pasti mengetahui seluk beluk pertahanan Alengkadiraja.
Persoalan selalu runtuhnya bendungan tersebut oleh Prabu Rama diserahkan pada Wibisana. Menurut perkiraan  Wibisana, keruntuhan-keruntuhan yang terjadi pada jembatan tersebut, akibat ulah pasukan Prabu Dasamuka. Wibisana meminta Prabu Rama untuk mengerahkan seluruh kera kera Yuyu Kingkin, yang berada di hutan Pancawati,  ke Jembatan Situbanda yang telah dibuat  Perajurit Pancawati.  Kapi Yuyu Kingkin siap akan mengerahkan ribuan kera yuyu kingkin di hutan Pancawati mengusir pengganggu dari Alengka.
Pasukan Pancawati pun bertindak. Kapi Yuyu Kingkin beserta pasukan dan Kapi Sarpacitra menyelam ke dasar lautan. Benar saja sesuai perkiraan Wibisana, tambak yang dibangun ternyata dirusak oleh pasukan Alengka yang dipimpin Kala Yuyu Rumpung. Pasukan Kapi Yuyu Kingkin berhasil mengalahkan bala Alengka, Pasukan Yuyu Rumpung sebagian tewas dan yang masih hidup menyelamatkan diri. 
Sementara itu sang komandan, Kapi Yuyu Kingkin dan Kapi Sarpacitra berhadapan dengan Kala Yuyu Rumpung. Karena kuwalahan menghadapi Kala Yuyu Rumpung di dalam air, Kapa Sarpacitra melilit tubuh Yuyu Rumpung dengan ekornya yang panjang dan dibawa ke daratan. Kapi Yuyu Kingkin pun ikut kembali ke daratan. Pertempuran pun kembali berlanjut. Ternyata di darat Yuyu Rumpung tak sehebat jika bertarung di dalam air dan akhirnya tewas di tangan Kapi Yuyu Kingkin.
Sesudah itu tidak ada lagi gangguan dari pasukan Alengka,  Pasukan Pancawati dan Wibisana, melanjutkan pembuatan jembatan Situbanda, dengan bahu membahu dalam membuat jembatan ke Alengka, maka jadilah tanggul itu dan akhirnya pasukan  kera yang jumlahnya ribuan itu bisa diberangkatkan ke Alengka Diraja. Mereka termasuk para kera ciptaan Dewa, seperti Cucak Rawun, Endrajanu, Bakliwinata, Baliwisata, Indrajanu, serta lainnya berbaris rapi, bagaikan tentara yang perkasa, siap ke medan laga, menjemput maut, demi membela kebenaran. Jembatan ini dikenal dengan Jembatan Situbondo. Dan konon jembatan yang menghubungkan India dengan Srilangka, masih ada, yang menyerupai pulau pulau kecil di ujung Srilangka. Dibawah ini merupakan jembatan yang dijuluki sebagai “Rama Bridge” sepanjang 18 mil (30 KM) yang menghubungkan Manand Island (Srilangka) dengan Pamban Island (India).(Heri, 2012).



3.      Nilai Etik dan estetik dalam pertunjukan wayang  episode “Tambak Rama”
a.       Nilai etik dalam pertunjukan wayang  episode “Tambak Rama”
Wayang merupakan gambaran keidupan manusia konkret dengan segala sifat karakter unik yang ada pada aneka ragam manusia. Kehalusan batin yang terwujud dalam perilaku bijaksana ataupun perilaku angkara murka dari kecantikan batin dapat terungkap dan tercermin dalam tokoh pewayangan. Dalam pertunjukan wayang penonton dapat mengenal nilai etik mengeani apa yang baik dan apa yang buruk. Tindakan dari masing-masing tokoh wayang sering dipakai orang jawa untuk memahami makna kehidupan ataupun berbagai realitas konkret (Kushendrawati, 2016). Etika ini memiliki berbagai macam fungsi, yaitu a) pengembangan, yaitu meningkatkan perilaku manusia dari yang buruk menjadi baik, baik menjadi lebih baik hingga mendekati sempurna; b) penyaluran, yaitu membantu manusia unutk menyalurkan potensi yang dimilikinya untuk masyarakat dan sekitarnya, c) perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam dirinya; d) pencegahan, yaitu mencegah manusia dari hal yang dapat merusak; e) pembersih, yaitu membersihkan diri dari penyakit hati; f) penyaring, yaitu menyaring budaya yang tidak sesuai dengan budi pekerti (Ratnaningsih, 2013).
Pertunjukan wayang “Tambak Rama” ini menurut saya sebagai penonton memiliki nilai etik yang beragam. Dimulai ketika lakon wayang dimulai dari Rama yang merasa sedih tak berkesudahan atas diculiknya Sinta. Namun kemudian Rama sadar bahwa dia raja tidak boleh terlalu lama bersedih karena keraguan dan keputusasaan akan menular kepada rakyatnya. Hal ini menunjukkan nilai etik yang berfungsi sebagai perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada dalam dirinya.
Terdapat juka lakon Dasamuka yang cemas setelah mendegar berita akan dibuat bendungan tersebut. Kemudian diutuslah pasukan raksasa kepiting untuk mengagalkan recana Rama. Namun pada akhirnya pasukan raksasa kepiting tersebut kalah, ada yang mati dan ada yang melarikan diri. Hal ini menjukkan bahwa ketika seseorang tersebut mendukung kepada hal yang tidak baik, maka akan dikalahkan dengan hal yang baik. Kebaikan menang setelah hal tersebut diperjuangan hingga titik darah penghabisan.
Pada lakon Rama juga diceritakan bahwa Sri Rama masih tetap percaya kepada Widisaba walaupun beberapa tokoh senopatinya meminta agar Wibisana diusir dari Pancawati karena gagal dalam membangun bendungan yang pertama dan dianggap sebagai mata-mata yang ingin menghancurkan Pancawati dari dalam. Dari hal tersebut terdapat nilai etik bahwa, ketika seorang pemimpin dihadapkan kepada suatu masalah, pemimpin tersebut harus mampu melihat secara menyeluruh. Tidak gegabah mengambil keputusan walaupun ada beberapa saran dari orang terdekatnya.
b.      Nilai estetik dalam pertunjukan wayang  episode “Tambak Rama”
Teori estetika berpandangan bahwa setiap karya seni memiliki struktur yan secara umum dapat diterima secara ekuivalen, yakni struktur hamoni dan struktur ritme. Struktur harmoni dalam suatu karya seni memberikan tekanan dan mengelompokkan unsur-unsur bahasa estetik, sehingga karya tersebut unik. Struktur ritme karya senimenetukan unsut yang diarahkan pada suatu gerak, yang menjadikan wujud terasa hidup.gerakan ni dapat juga berupa ketidakgerakan, yaitu seperti hentakan dengan tempo yang tepat dalam dunia teater, music, puisi maupun tari (Darmoko, 2014).
Setiap pertunjukan wayang yang digerakkan tersebut sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Dimensi ruang mencakup berapa lebar dan panjang layar, jangkauan dan jarak antara gunungan sebagai pembatas simpingan kanan dan kiri, serta jarak antara blencong (lampu) dengan layar. Dimensi waktu mengacu pada gending-gending yang disajikan yang turut serta dalam membangun gerakan. Gending tersebut disajikan dalam tempo dan irama tertenu, sesuai dengan kebutuhan gerakan wayang. Gending dalam pertunjukan wayang ini bersifat melayani gerakan atau adegan apa yang sedang dilakukan oleh seorang tokoh. Gending ini memegang peranan penting dalam pertunjukan, yaitu sebagai pembentuk, pencipta, dan pembawa suasana seperti percintaan, kesedihan, kemarahan, semangat, ketakutan, kemuakan, keheranan, dan ketenangan batin tokoh yang sedang dibawakan (Darmoko, 2014).
Berikut gambar nilai esteik dalam pertunjukan wayang.




Dalam gambar diatas telihat 3 gunungan. Gunungan kanan dan kiri tersebut merupakan dimensi ruang yang mencakup panjang dan lebar layar yang digunakan dalam pertunjukan wayang. Gunungan ditengah digunakan dalang untuk menunjukkan pembuka dan penutup babak pertunjukan. Pada saat pertunjukan belum dimulai, maka gunungan diletakkan ditengah tengah layar. Hal ini menandakan bahwa lakon wayang belum dimulai. Kemudian setelah dimainkan, gunungan dicabut, dan dijajarkan di sebelah kanan. ketika akan berganti tahapan cerita, maka gunungan akan ditancapkan ditengah-tengah condong ke kiri.



Dari gambar diatas, terlihat dalang telah memulai lakon awalnya dengan memunculkan tokoh Rama dan para rekannya. Terlihat didalam gamabr terdapat nilai estetikanya yaitu terdapat sekelompok karawitan yang akan mengiringi gending untuk pertunjukan.  Kelompok karawitan terdiri dari pengrawit, pesinden, dan penggerong. Pengrawit bertugas memainkan instrument  gamelan. Pesinden bertugas menyajikan vokal  perempuan dalam alunan gendhing ataupun tembang, dan penggerong bertugas menyajikan vocal laki-laki. Kehadiran pengrawit, pesinden, dan penggerong dalam pagelaran wayang adalah mendukung menciptanya kualitas estetik. Hubungan sinergis antara kelompok karawitan dengan dalang ditunjukkan pada makna sasmita gending. Dalang melontarkan  sasmita gending  yang diterjemahkan kelompok karawitan dalam vokal gending tertentu untuk mendukung pertunjukan wayang (Ratnaningsih, 2013).
4.      Reference
Heri. 2012. Ramayan : Rama Tambak. http://caritawayang.blogspot.co.id/2012/11/rama-tambak.html
Ratnaningsih, Arum. 2013. Etika dan Estetika dalam Wayang (Kisah Perang Bhatarayuda).
https://www.academia.edu/5473249/Etika_dan_Estetika_dalam_perang_Bhratayuda
Seni Wayang. 2014. Pemahaman Nilai Filosofi, Etika dan Estetika dalam Wayang. http://seni-wayang.blogspot.co.id/2014/05/pemahaman-nilai-filosofi-etika-dan.html
Darmoko. 2004. Seni Gerak dalam Pertunjukan Wayang Ditinjau Estetika. Makara, Sosial Humaniora, 8 (2), Hal 83 – 89. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=201757&val=1213&title=SENI%20GERAK%20DALAM%20PERTUNJUKAN%20WAYANG%20TINJAUAN%20ESTETIKA

Kushendrawati, Selu M. 2016. Wayang dan Nilai-Nilai Etis : Sebuah Gamabran Sikap Hidup Orang Jawa. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiE2PDziJnYAhUGT48KHZniA8gQFghWMAU&url=http%3A%2F%2Fparadigma.ui.ac.id%2Findex.php%2Fparadigma%2Farticle%2Fdownload%2F21%2Fpdf&usg=AOvVaw3q2hnXXRiLVrpm78aoBV9Y

0 comments:

Post a Comment